Senin, 02 Mei 2011

Lokomotif Bima Kunting

Lokomotif Bima Kunting adalah lokomotif langsir yang dibuat oleh Indonesia di Balai Yasa Traksi Yogyakarta yang dipergunakan untuk proses melangsir di dalam Balai Yasa traksi Yogyakarta.
Lokomotif Bima Kunting ini terdiri dari 3 macam, yaitu lokomotif Bima Kunting 1, Bima Kunting 2 dan Bima Kunting 3.

Lokomotif Bima Kunting 1 merupakan lokomotif prototype dari seri Bima Kunting, dengan nomor seri B100, lokomotif Bima Kunting 1 ini dibuat pada tahun 1963, menggunakan lebar gauge rel 600 mm, menggunakan motor diesel dari Jeep Willys.

Lokomotif Bima Kunting 2 merupakan lokomotif seri Bima Kunting berikutnya, dengan nomor seri B200, lokomotif Bima Kunting 2 ini dibuat pada tahun 1965, menggunakan lebar gauge rel 1067 mm, dan menggunakan generator Hobart.

Lokomotif Bima Kunting 3 juga merupakan lanjutan dari lokomotif seri Bima Kunting, dengan nomor seri B201 lokomotif ini dibuat pada tahun 1965, dengan menggunakan lebar gauge rel 1067 mm dan menggunakan motor diesel Daimler Benz type M 204 B dengan berdaya 120 HP.

Dari ketiga lokomotif seri Bima Kunting tersebut, hingga saat ini masih menyisakan satu unit dalam keadaan tidak beroperasi di Balai Yasa Traksi Yogyakarta.

Kamis, 07 Oktober 2010

Penelusuran Ex Jalur Kereta Api NIS Ngabean-Pundong


Foto: Pabrik Gula Kedaton Pleret tahun 1935 (Sumber Foto: KITLV)

Salah satu kegiatan yang pernah dilakukan oleh Indonesian Railways Preservation Society (IRPS) Yogyakarta adalah menelusuri jalur mati Ngabean-Pundong yang telah dicabut Jepang pada perang dunia II.

Perlu diketahui, kami menelusuri jalur ini dari sebuah peta lama tahun 1935 yang kami dapat dari maps.kit.nl dan kami padukan dengan image google maps dari maps.google.com.

Jalur ini merupakan jalur cabang dari jalur Yogya-Bantul-Sewugalur yang dibangun oleh perusahaan swasta kereta api Hindia Belanda (Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM)) yang dimulai dari Stasiun Ngabean dengan lebar gauge rel 1435 mm. Jalur ini dibangun dalam dua tahap yaitu dari Stasiun Ngabean-Pasar Gedeh (Kotagede) pada 15 Desember 1917 dengan panjang 6 kilometer. Kemudian pada 15 Januari 1919 dilanjutkan pada ruas Pasar Gedeh-Pundong dengan panjang 21 kilometer (Sumber: Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid 1, Penerbit Angkasa, Bandung).

Urutan stasiun dan halte di jalur ini adalah Stasiun Ngabean-Stasiun Timuran-Halte Sidikan-Stasiun Passer Gede (Kotagede)-Halte Kuncen (Banguntapan)-SF. Kedaton Plered-Halte Wonokromo- Halte Ngentak-Halte Djetis-Halte Barongan-SF. Barongan-Halte Patalan-SF. Pundong-Stasiun Pundong.

Jalur ini selain untuk melayani angkutan penumpang juga melayani angkutan untuk pabrik gula. Oleh karena itu jalur ini melewati beberapa pabrik gula tua atau dalam bahasa Belanda disebut Suiker Fabriek (SF) yaitu SF. Kedaton Plered, SF. Barongan (Jetis), SF. Bambanglipuro (Ganjuran), dan SF. Pundong.

Kondisi saat ini:

1. Ngabean-Kotagede

Eks Jalur KA ini berada di tepi Jalan raya dimulai dari Pojok Beteng Kulon hingga Kotagede. Di jalur ini hanya ada satu stasiun yaitu Stasiun Timuran yang menurut peta tahun 1935 peninggalan Belanda, stasiun Timuran berada di Jl. Mayjen. Sutoyo dan berada di sisi barat pojok bereng wetan, akan tetapi sisa-sisa sekarang sudah tidak dapat ditemukan lagi.

2. Kotagede-Pundong

Jalur dari Kotagede sampai jalan Ringroad timur sudah berubah menjadi jalan kampung. Disini tidak ditemukan bekas-bekas jalur KA. Tetapi kami dapat mengenali kalau jalur ini adalah jalur KA dengan melihat tikungannya yang khas. Di akhir tahap ini kemudian terlihat bahwa jalur ini menyeberang Ringroad. Kami kehilangan jejak ketika menelusuri di seberang Ringroad dikarenakan telah berubah menjadi rumah penduduk dan tak tampak lagi jalurnya.

Jalur dari seberang Ringroad sampai hingga Kedaton Plered eks jalur KA ini melintasi persawahan dan berada di sisi jalan raya Banguntapan-Plered. Di daerah ini eks jalur KA sudah hampir hilang jejaknya, akan tetapi kami dapat mengenali jalur KA tersebut lewat image dari google maps yang dipadukan dengan peta lama tahun 1935 peninggalan Belanda dari maps.kit.nl. Di tengah persawahan kami menemukan eks rail bed (rail baan), hal ini dibuktikan dari image di google maps dan juga sisa-sisa tanah yang berbentuk seperti bantalan rel di daerah Banguntapan.

Di daerah Kedaton Plered sisa pabrik gula sudah tidak dapat dikenali lagi, karena sudah menjadi kompleks perkampungan dan Kantor Kecamatan Plered. Kemudian rel mengarah ke daerah Wonokromo dan menuju Jetis, Bantul. Di sini sisa-sisa rail bed (rail baan) masih terdapat di tengah persawahan dan ditumbuhi pohon kelapa. Di kecamatan Jetis sebenarnya ada halte Djetis, tetapi sisa-sisanya sudah tidak dapat ditemui lagi. Akan tetapi, jalur KA yang mengarah ke Barongan terdapat pondasi beton tua eks jembatan KA yang menyeberangi sungai Code di Barongan. Beton pondasi jembatan tersebut juga tak lupa kami dokumentasikan.

Di Barongan kami bertemu dengan seorang warga yang berusia sekitar 70 tahunan dan beliau menceritakan tentang eks jembatan KA tersebut, bahwa sebenarnya posisi rail bed lebih tinggi dari perkampungan di sekitarnya, akan tetapi karena bergulirnya waktu, tanah tersebut diambil dan sehingga posisi rail bed menjadi lebih rendah dan telah hilang sama sekali.

Kemudian eks jalur KA ini mengarah ke Barongan, dan di sini sisa-sisa PG Barongan juga sudah tak dapat dikenali lagi. Kemudian jalur rel KA mengarah ke Patalan dan Pundong. Dan sisa-sisa eks jalur KA ini kebanyakan sudah menjadi jalan kampung, dan sebagian ada yang hilang sama sekali di tengah persawahan. Hal ini dapat dimaklumi karena jalur ini dicabut saat masa penjajahan Jepang (sekitar tahun 1943-1944) dan sebagian relnya dibawa ke Burma. Sehingga saat masa kemerdekaan, jalur rel ini sudah tak dipakai lagi dan tak berbekas.

Sesampainya di Pundong, sisa-sisa eks PG Pundong sudah menjadi perkampungan. Di tengah sawah kami memperkirakan di sinilah depo kereta api dengan melihat sumur tua di tengah sawah yang berukuran besar dengan empat tiang mungkin bekas tower. Sedangkan sisa eks stasiun Pundong sendiri sekarang sudah tak berbekas sama sekali dan kami memperkirakan sekarang sudah menjadi perkampungan.

Demikianlah penelusuran jalur KA dari Ngabean ke Pundong yang dilakukan oleh Tim IRPS Yogyakarta. Tunggu laporan penelusuran eks jalur KA dan peninggalannya yang selanjutnya.

Tim IRPS YK:

- Fajar Arifianto

- Bagas Widiarsa

- Rezza Habibie

- Ersta Kurniawan

- Laksana Gema P.

- Umbar Prakoso

- Ican Hadi P.

- Soni Gumilang (Jakarta)

PARA PEMBURU "JEJAK" KERETA API


PARA PEMBURU "JEJAK" KERETA API

Matahari bergerak ke peraduannya ketika sekumpulan anak muda asyik menyusuri bekas jembatan rel kereta api di Dusun Pangukan, Sleman, Minggu (3/10). Mereka menggosok-gosok rel yang usang dan berkarat itu, sekadar mencari secuil informasi yang mencerahkan.

Salah satu hasil gosokan itu, muncul informasi yang diharapkan berwujud tulisan "Krupp 1895 NIS". Artinya, rel baja itu produksi perusahaan Jerman bernama Krupp pada tahun 1895 untuk jaringan KA perusahaan NIS (Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij), perusahaan KA pertama di Indonesia asal Belanda.

Mereka pun mendokumentasikan temuan itu dengan kamera foto maupun video sambil sesekali mendokumentasikan mereka sendiri dengan berbagai pose. Namanya juga anak muda. Puas jepret sana, jepret sini, mereka bergegas pindah, memburu jejak lainnya.

Kumpulan anak muda itu adalah anggota Indonesian Railway Preservation Society (IRPS) Yogyakarta. IRPS merupakan komunitas pencinta segala hal berbau kereta api. Penyusuran jaringan rel KA yang sudah tidak aktif di DIY merupakan salah satu kegiatannya.

"Kalau menemukan relik-relik KA sepanjang penyusuran, senangnya bukan main. Serasa menemukan harta karun," kata Reza Habibie, salah satu anggota IRPS Yogyakarta. Hari itu, ia bersama lima rekan anggota IRPS menyusuri bekas rute KA Yogyakarta-Magelang yang ditutup pada akhir 1970-an.

Sepanjang penyusuran di Jalan Magelang, selepas Terminal Jombor hingga wilayah Tempel di perbatasan DIY-Jawa Tengah, mereka mengamati sekeliling dengan seksama, mencari-cari peninggalan rute yang mulai dioperasikan pemerintah kolonial Belanda pada 1 Juli 1898 itu.

Selain jembatan dan rel yang tersisa, beberapa bekas stasiun juga masih ditemukan di rute itu meski sudah beralih fungsi menjadi pos polisi (Mlati), markas militer (Beran), posyandu (Medari), dan taman kanak-kanak (Tempel). "Tidak sedikit juga yang sudah hilang tak berbekas lagi," kata Fajar Arifianto, koordinator IRPS Yogyakarta.

Bekas tiang telegraf, tiang sinyal, menara air untuk kereta uap, dan palang pintu perlintasan juga ditemukan dalam perjalanan itu, yang sebagian besar kondisinya mengenaskan dimakan usia.

Berbagai peninggalan bersejarah KA itulah yang menjadi perhatian utama IRPS. "Kami trenyuh setiap melihat peninggalan KA yang terabaikan itu. Oleh karena itu, kami berinisiatif melestarikan aset- aset itu dengan cara mendokumentasikannya," kata Fajar. Tujuannya, jika suatu saat aset-aset itu akhirnya punah, barang bukti kejayaannya masih bisa dinikmati melalui foto dan video.

Berbagai kegiatan

Selain penyusuran rute KA mati di DIY, IRPS Yogyakarta yang beranggotakan 40 orang juga aktif menggelar berbagai kegiatan lain, seperti joy ride (jalan-jalan naik kereta), penghijauan stasiun, diskusi, pameran, dan aktivitas terkait kereta api lainnya.

Satu hal yang patut dibanggakan, mayoritas anggota IRPS Yogyakarta (salah satu dari tujuh cabang IRPS di seluruh Indonesia) adalah anak muda usia kuliahan, seperti Fajar dan Reza. "Saya sudah suka kereta api sejak kecil karena sering lihat-lihat kereta di Stasiun Tugu dan Lempuyangan," kata Reza (20).

Berbagai informasi seputar KA ia peroleh dari buku, internet, maupun melalui forum sesama pehobi kereta api di dunia maya. Tak heran jika informasi yang dimiliki anggota IRPS seputar perkeretaapian, khususnya terkait sejarah, lebih lengkap dari yang dimiliki PT KA sendiri.

"Kami malah pernah diminta membantu PT KA untuk mencari data- data historis seputar peninggalan KA," kata Fajar. Nah, lho! (MOHAMAD FINAL DAENG)

http://cetak.kompas.com/read/2010/10/06/14132678/gelanggang

Sabtu, 02 Oktober 2010

KERETA UAP ANDALAN KAKEK...

Marsudi (79) masih ingat betul masa-masa ia menumpang kereta uap berwarna hitam untuk mobilitas pulang-pergi bekerja dari rumahnya di Dusun Glondong, Kasihan, Bantul, menuju Ngabean di Kota Yogyakarta. Transportasi warisan pemerintah kolonial Belanda itu melaju pelan menyusuri rel sambil sesekali membunyikan lonceng dan meninggalkan kepulan asap hitam pekat di belakang; hasil pembakaran kayu dan batu bara bahan bakarnya.

Tahun 1956 itu, Marsudi masih berusia 24 tahun dan baru pertama kali bekerja sebagai pegawai sebuah usaha reklame. "Dulu, pulang-pergi kerja, ya, naik kereta itu. Kalau jalan kaki jauh, andong atau becak ongkosnya mahal," katanya saat ditemui di rumahnya di Glondong, Jumat (1/10).

Kereta api jurusan Yogyakarta-Palbapang kala itu menjadi andalan transportasi warga kebanyakan untuk mobilitas Yogyakarta-Bantul. Pada masa itu, jangankan kendaraan pribadi seperti motor atau mobil, sepeda onthel pun masih merupakan barang mewah. Adapun transportasi umum lainnya, seperti bus, belum berkembang.

Jadilah kereta api sebagai sarana transportasi massal andalan warga kecil seperti Marsudi. "Sudah murah, tepat waktu juga karena setiap jam pasti ada," kata Marsudi yang rumahnya hanya selemparan batu dari bekas Stasiun Winongo, salah satu stasiun di rute Yogyakarta-Palbapang.

Selain andalan transportasi harian, Marsudi juga kerap menggunakan KA saat akhir pekan-sekedar membawa keenam anaknya jalan-jalan ke kota atau mendatangi acara-acara yang digelar Keraton seperti sekaten.

Pengalaman menaiki kereta uap rute pendek di Yogyakarta juga dialami Djauhari (67), warga Serangan, Ngampilan, Yogyakarta. Saat masih duduk di bangku SMP, pada tahun 1955, ia menjadi pelanggan KA dari rumahnya di Kutoarjo, Jawa Tengah, untuk bersekolah di Yogyakarta.

Dari Stasiun Tugu Yogyakarta, ia sambung naik kereta lagi ke Stasiun Ngabean (sekarang menjadi area parkir wisata) untuk menuju sekolahnya di SMP Muhammadiyah. "Biar berdesak-desakan, kereta zaman dulu enak karena selalu tepat waktu," katanya.

Sama seperti Marsudi, Djauhari juga menikmati perjalanannya dengan kereta uap berwarna hitam warisan Belanda. Kenangannya, interior dalam gerbong terbuat dari kayu, termasuk bangku berderet panjang. Pada setiap gerbong juga terdapat petugas rem yang menjaga tuas-tuas rem.

"Kalau petugas mengisi bahan bakar kayu atau batu bara ke dalam tungku, baranya beterbangan ke gerbong penumpang. Sering juga baju jadi bolong-bolong atau rambut terbakar," kata Djauhari sambil tertawa kecil mengingat pengalamannya itu.

Sejak 1971, Djauhari menetap di Serangan yang berjarak 30 meter dari eks-stasiun Ngabean. Mas'ud (41), putra Djauhari, sempat menikmati masa kecil kala stasiun itu aktif hingga dekade 1970-an akhir. "Dulu, sama teman-teman, saya suka ikut naik kereta pengangkut tetes (air perasan tebu) sampai pabrik Madukismo," katanya.

Kini jaringan rel Ngabean (kota)-Palbapang (Bantul)-Sewugalur (Kulon Progo), bersama Ngabean-Pundong (Bantul), dan Yogyakarta-Magelang-Parakan yang bercabang juga ke Ambarawa (Jawa Tengah) tinggal kenangan. Kecuali ruas Ngabean-Pundong dan Palbapang-Sewugalur yang dibongkar penjajah Jepang, jalur yang lain ditutup karena KA kalah bersaing dengan moda transportasi jalan raya.

Kepala Pusat Studi Transportasi dan Logistik UGM Kuncoro Harto Widodo mengatakan, KA jarak pendek seperti yang pernah ada di DIY itu, saat ini bisa menjadi alternatif transportasi massal. KA kembali dilirik sebagai solusi atas transportasi jalan raya yang mulai padat dan tidak efektif. Akankah kenangan usang Marsudi, Djauhari, dan Mas'ud hidup kembali?

(MOHAMAD FINAL DAENG)

Sumber: Harian KOMPAS Edisi Yogyakarta, Sabtu, 2 Oktober 2010

Jejak Kejayaan Kereta Api di Yogyakarta


YOGYAKARTA, KOMPAS - Sebelum sepeda motor dan mobil merajai jalanan dan menjadi alat transportasi utama, tulang punggung mobilitas warga di Pulau Jawa adalah kereta api. Yogyakarta, sebagai salah satu kota strategis di selatan Jawa, tak lepas dari itu.

Bahkan, Jawa Tengah dan Yogyakarta menjadi daerah rintisan pembangunan jaringan kereta api (KA) di Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda pada akhir abad ke-19. Letaknya yang strategis untuk pertahanan dan demi kelancaran eksploitasi sumber-sumber ekonomi menjadi alasan utama investasi besar itu.

Di Yogyakarta, selain jalur kereta api yang masih aktif saat ini, terdapat tiga jalur jarak pendek yang dulu merupakan andalan transportasi warga, mobilisasi militer, dan pengangkutan industri gula. Ketiga jalur itu adalah Ngabean (kota)-Palbapang (Bantul)- Sewugalur (Kulon Progo), Ngabean-Pundong (Bantul), dan Yogyakarta- Magelang-Parakan yang bercabang juga ke Ambarawa.

Jalur-jalur yang dibangun Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (perusahaan KA pertama di Indonesia) periode 1895-1919 itu sudah lama mati. Rute Ngabean-Pundong sepanjang 27 kilometer (km) dan ruas Palbapang-Sewugalur (15 km) dibongkar militer Jepang tahun 1943 untuk dipindah di luar negeri untuk pembangunan jaringan KA, seperti di Thailand dan Myanmar.

Ruas Ngabean-Palbapang (14,6 km) dan Yogyakarta-Magelang (46,8 km) bertahan lebih lama hingga dekade 1970-an setelah kalah bersaing dengan transportasi massal jalan raya (bus dan angkutan darat) yang mulai berkembang. Masa kejayaan KA rute pendek di DIY pun berakhir.

"Karena tidak menguntungkan lagi, kedua jalur itu ditutup sekitar tahun 1976-1978. Terakhir, rute Yogyakarta-Magelang digunakan untuk pengangkutan taruna Akademi Militer di Magelang pada tahun 1976," kata Kepala Humas PT KA Daerah Operasi VI Yogyakarta Eko Budiyanto.

Sebagian sisa kejayaan masa lampau, KA itu kini masih terlihat dari bangunan bekas stasiun, seperti di Ngabean yang sekarang menjadi area parkir wisata. Beberapa stasiun lain juga beralih fungsi menjadi kantor tentara, pos polisi, warung makan, taman kanak- kanak, hingga posyandu.

Fajar Arifianto, koordinator wilayah Yogyakarta Indonesian Railways Preservation Society (IRPS), organisasi pencinta kereta api dan peninggalannya, Jumat (1/10), mengatakan, nasib itu lebih baik ketimbang stasiun-stasiun lain yang telantar atau hilang sama sekali. Di antara yang sudah hilang terdapat Stasiun Pangukan, Sleman, Dongkelan, dan stasiun di ruas Ngabean-Pundong (13 stasiun).

Beberapa prasarana lain juga tersisa sedikit, seperti jembatan dan rel. Salah satu penggalan rel yang terlihat jelas ada di Jalan Bantul Km 7-9. Sebagian besar rel lain sudah hilang atau terkubur aspal dan pemukiman.

Wacana revitalisasi

Kini, jaringan jalan raya yang pascakemerdekaan menjadi "anak- kandung" kebijakan transportasi nasional telah hampir mencapai titik jenuh. Ruas jalan yang ada tidak mampu mengimbangi ledakan volume kendaraan.

Konsekuensinya, jalanan macet dan tak lagi nyaman bagi mobilitas warga, seperti terasa di beberapa titik di Yogyakarta. Tahun 2006, Departemen Perhubungan kembali melirik KA sebagai transportasi massal utama.

Pemerintah pusat berwacana merevitalisasi jalur-jalur KA lama di Pulau Jawa, Madura, dan Sumatera untuk tujuan itu, termasuk di DIY. "Kami siap jika memang wacana itu diwujudkan, tetapi banyak perhitungan yang harus dilakukan terlebih dulu," kata Deputi Executive Vice President PT KA Daop VI Muhardono.

Selain ongkos besar membangun kembali jaringan dan infrastruktur- akibat jalur lama dikepung permukiman-perhitungan untung-rugi juga mengganjal dalam konteks persaingan dengan moda transportasi lain. Butuh waktu menanti kebangkitan kejayaan kereta api. (ENG)

Sumber: Harian KOMPAS Edisi YOGYAKARTA, Sabtu, 2 Oktober 2010

Keterangan Foto: Stasiun Palbapang di Bantul tahun 1896 (sumber: KITLV)